Lompat ke isi

Kesultanan Pajang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Pajang

ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦥꦗꦁ كسلطانن ڤاجڠ
15541–1587
Ibu kotaPajang
Bahasa yang umum digunakanJawa
Agama
Islam
PemerintahanKerajaan
Sultan 
• 1554-15831
Hadiwijaya
• 1583-1586
Awantipura
• 1586-1587
Prabuwijaya
Sejarah 
• Adiwijaya naik takhta
1554
• Sunan Prapen menjadi mediator pertemuan antara Adiwijaya dengan para Adipati Jawa Timur
1568
• Perpindahan kekuasaan ke Mataram
1587
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Demak
krjKerajaan
Kalinyamat
kslKesultanan
Mataram
^1 (1548-1568 adalah masa perebutan kekuasaan antara kerabat kerajaan setelah wafatnya penguasa terakhir Demak, Trenggana)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kesultanan Pajang atau Kerajaan Pajang Aksara Jawa :ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦥꦗꦁ (كسلطانن ڤاجڠ) adalah sebuah kesultanan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kesultanan Demak. Kompleks keratonnya pada masa ini tinggal tersisa berupa batas-batas pondasinya saja yang berada di perbatasan Kelurahan Pajang - Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.[1]

Berita kuno tentang Pajang

[sunting | sunting sumber]

Pada zaman Jawa kuno, kawasan antara Gunung Lawu dan Merapi di daerah pedalaman Bengawan Solo yang bermuara ke Laut Jawa di dekat Gresik, merupakan wilayah yang kurang berpotensi untuk bidang ekonomi dan politik dibandingkan dengan daerah Mataram di sebelah baratnya. Raja-raja Jawa-Hindu khususnya, yang selama berabad-abad sebelum dan sesudah tahun 1000 masehi memerintahkan pembangunan candi-candi di Jawa Tengah bagian selatan, lebih memilih tempat singgasana mereka di daerah aliran sungai Opak dan Progo yang bermuara di Lautan Hindia daripada di daerah aliran Bengawan Solo.[2]

Sebagian besar prasasti raja-raja yang masih tersimpan (berupa batu atau lembaran tembaga) memberitakan tempat-tempat bersejarah di Jawa Tengah bagian selatan. kebanyakan wilayah tersebut terletak di daerah Mataram dan Kedu atau sekitarnya. Satu catatan yang berhasil diketahui ialah pada Prasasti Panumbangan dari tahun 903 M. Prasasti tersebut menerangkan mengenai penyeberangan sungai dengan perahu tambang, karena terdapat jalur perdagangan yang bersilangan dengan bagian pedalaman Bengawan Solo di Wonogiri saat ini. Berdasarkan prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa pada abad kesepuluh daerah kekuasaan raja-raja Jawa Hindu di Mataram lama juga meliputi daerah hulu Bengawan Solo. Diperkirakan jalur perdagangan lama di dekat daerah Panumbangan yang memotong sungai Bengawan Solo tersebut merupakan salah satu jalan penghubung antara Jawa Tengah bagian selatan dan daerah di sebelah timur yang terletak di daerah Madiun saat ini. Jalan penghubung antara daerah sepanjang pantai selatan Jawa, yang melewati lereng selatan gunung-gunung besar seperti Lawu, Wilis dan Semeru, memiliki peran penting dalam sejarah politik-ekonomi di Jawa.[3]

Berdirinya Pajang

[sunting | sunting sumber]

Kesultanan Pajang menjadi kesultanan pertama di Pulau Jawa yang pusat pemerintahannya terletak di kawasan pedalaman, yakni di Pajang.[4] Pada masa pembentukan Kesultanan Pajang, kerajaan Islam di daerah pesisir Pulau Jawa mengalami keruntuhan.

Menurut naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya perang antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.

Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak.

Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu Trenggana, dan menjadi bupati Pajang bergelar Adiwijaya. Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.

Pada tahun 1546, Sultan Trenggana meninggal.[5] Kondisi ini menimbulkan permasalahan di Jipang Panolan (Bojonegoro) dan Pajang. Kedua wilayah di Jawa Tengah itu sama-sama menuntut hak atas takhta Demak. Arya Panangsang, keponakan Sultan Trenggana, yang memerintah Kadipaten Jipang berusaha menguasai salah satu kerajaan Islam terbesar di Jawa tersebut. Namun penguasa Pajang, Jaka Tingkir, menghalangi usahanya. Konflik pun meluas.

Diceritakan Serat Kandha, Jaka Tingkir adalah menantu Sultan Trenggana karena menikahi Ratu Mas Cempaka. Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya (kelak Sultan Adiwijaya). Secara keturunan jelas ia tidak memiliki hak apapun atas Demak. Tetapi tidak lama setelah pemakaman Sultan Trenggana, Jaka Tingkir mengumumkan kekuasaannya di Demak. Pengangkatan mendadak Jaka Tingkir itu dilakukan berdasarkan pilihan rakyat Demak Bintara dan persetujuan seluruh Adipati bawahan Demak. Ia lalu memerintahkan agar pemerintahan Demak dipindah ke Pajang. Seluruh benda-benda pusaka di Demak juga tak luput dari perpindahan tersebut.

Sebagai pewaris sah Demak, Sunan Prawoto, seharusnya menggantikan kedudukan Sultan Trenggana. Tetapi ia diceritakan tidak ingin naik takhta, dan secara sukarela menjadi Priayi Mukmin atau Susuhunan di wilayah Prawata adalah desa di kecamatan Sukolilo, Pati, sebuah pasanggarahan yang digunakan raja Demak selama musim hujan. Hal itulah yang kemudian mempermudah Jaka Tingkir untuk mengambil alih kekuasaan. Selanjutnya Sunan Prawoto naik takhta. Namun Sunan Prawoto kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Panangsang bupati Jipang tahun 1547. Setelah itu, Arya Panangsang juga berusaha membunuh Adiwijaya namun gagal.

Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara dan puteri Trenggana), Adiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Adiwijaya selanjutnya merebut takhta Demak lalu mendirikan Kesultanan Pajang.

Perkembangan

[sunting | sunting sumber]

Pada awal berdirinya atau pada tahun 1568, bahwa wilayah Pajang yang terkait eksistensi Demak pada masa sebelumnya, hanya meliputi sebagian Jawa Tengah. Hal ini disebabkan karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian Sultan Trenggana.

Pada tahun 1568 Adiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan putri Adiwijaya.

Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu Adiwijaya.

Peran Walisongo

[sunting | sunting sumber]

Pada zaman Kerajaan Demak, majelis ulama Wali Songo memiliki peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak.

Sepeninggal Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus bahkan dituduh terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, raja baru pengganti Trenggana.

Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif, sedikit banyak para wali secara pribadi pribadi masih ikut berperan dalam pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak sebagai pelantik Adiwijaya sebagai raja. Ia juga menjadi mediator pertemuan Adiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pamanahan meminta haknya pada Adiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah sayembara membunuh Arya Panangsang.

Wali lain yang masih berperan adalah Panembahan Kudus. Sepeninggal Adiwijaya tahun 1582, ia berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa dari jabatan putra mahkota, dan menggantinya dengan Arya Pangiri.

Pemberontakan Mataram

[sunting | sunting sumber]

Mataram dan Pati adalah dua hadiah sayembara Adiwijaya untuk siapa saja yang mampu menumpas Arya Panangsang tahun 1549. Menurut laporan resmi peperangan, Arya Panangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi.

Ki Panjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549. Sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan hadiahnya tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal ini disebabkan karena Adiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa kelak Mataram akan lahir menjadi kerajaan yang lebih besar daripada Pajang.

Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya putra Ki Ageng Pamanahan sejak tahun 1575. Tokoh Sutawijaya inilah yang sebenarnya menumpas Arya Panangsang. Mataram di bawah pimpinan Sutawijaya semakin hari semakin maju dan berkembang.

Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram disebabkan Sutawijaya membela adik iparnya, yaitu Tumenggung Mayang terkait hukum buang ke Semarang oleh Adiwijaya kepada sang tumenggung. Perang tersebut dimenangkan pihak Mataram, meskipun pasukan Pajang berjumlah lebih besar.

Keruntuhan

[sunting | sunting sumber]

Sepeninggal Adiwijaya, terjadilah persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583. Pemerintahan Arya Pangiri disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan akibat kemelut tersebut. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Adiwijaya, tetapi Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.

Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga. Menurut ''Babad Mataram'', sebelum ia diangkat menjadi raja, Pangeran Benawa menyerahkan hak atas warisan ayahnya (Adiwijaya) kepada Senopati Mataram (Sutawijaya). Tetapi ia menolaknya dan hanya menginginkan imbalan harta dari Kerajaan Pajang. Sutawijaya sendiri mendirikan Kerajaan Mataram, di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati.

Kekuasaan Pangeran Benawa atas Pajang hanya bertahan satu tahun setelah pengangkatannya. Pemerintahannya berakhir pada tahun 1587, yang menurut salah satu sumber ia meninggalkan Pajang untuk membaktikan diri pada agama di Parakan (bagian utara daerah Kedu). Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Pada saat itu oleh Senopati Mataram, kekuasaan atas Pajang telah dipercayakan kepada salah seorang pangeran muda dari Mataram bernama Pangeran Gagak Baning atau adik Sutawijaya dengan mengangkatnya sebagai bupati di sana.[6]

Di bawah kekuasaan raja baru, Kerajaan Pajang telah melakukan pemberontakan besar dan perluasan istana kerajaan. Namun pemerintahannya tidak bertahan lama. Sekitar tahun 1591, tiga tahun kemudian ia meninggal. Sebagai penggantinya, raja Mataram yang saat itu telah diakui kekuasaannya oleh banyak raja di Jawa Tengah, menunjuk putra Pangeran Benawa, cucu almarhum Sultan Adiwijaya untuk memerintah Pajang sebagai vasal (wilayah asosiasi) Mataram. Sesudah Senopati Mataram meninggal pada tahun 1601 dan selama pemerintahan penggantinya, Panembahan Seda-Ing Krapyak (1601-1613), Pangeran Benawa II memerintah Pajang tanpa kesulitan besar meskipun dengan usianya yang masih muda.[6]

Pada tahun 1617 hingga 1618 timbul pemberontakan besar di Pajang melawan kekuasaan Sultan Agung. Pemberontakan tersebut dibantu oleh sekelompok masyarakat yang tidak puas di Mataram. Penindasan pasukan Mataram terhadap gerakan pemberontakan di daerah Pajang tersebut disertai penghancuran besar-besaran, dan penduduk desa setempat diangkut secara paksa untuk membantu pembangunan kota kerajaan yang baru. Setelah bencana tersebut, sisa-sisa daerah Pajang selama sebagian besar abad ketujuh belas menjadi lemah terhadap perkembangan ekonomi dan politik, sampai ketika cucu Sultan Agung, Mangkurat II, terpaksa meninggalkan tanah warisannya, Mataram. Ia kemudian memerintahkan membangun istana kerajaan yang baru, Kartasura, di Pajang.[7]

Pada tahun 1618 raja terakhir dari keluarga raja Pajang, setelah menderita kekalahan dalam pertempuran melawan Mataram, melarikan diri ke Giri dan Surabaya. selama masih memegang kekuasaan, keluarga raja Pajang masih memiliki hubungan yang baik dengan keluarga raja-raja di Jawa Timur. Pada dasawarsa ketiga abad ketujuh belas, perlawanan terhadap ekspansi Sultan Agung terpusat di sepanjang pantai utara Jawa. Yang Dipertuan di Tambak Baya (sekarang Madiun), sebagai seorang vasal Pajang yang terakhir juga ikut melarikan diri ke Surabaya.[7]

Daftar Pejabat

[sunting | sunting sumber]

Daftar Sultan

[sunting | sunting sumber]
No. Sultan Mulai Jabatan Akhir Jabatan Jabatan
Sebelumnya
Termuat Dalam
1. Jaka Tingkir 1554 1583 Adipati Pajang *Babad Tanah Jawi
2. Arya Pangiri 1583 1586 Adipati Demak *Babad Tanah Jawi
3. Pangeran Benawa 1586 1587 Adipati Jipang *Babad Tanah Jawi

Daftar Menteri dan Staf

[sunting | sunting sumber]
Nama Jabatan
Sunan Prapen Mufti ( Pemimpin Fatwa )
Sunan Kalijaga Penasihat

Daftar Kepala Daerah

[sunting | sunting sumber]
Nama Jabatan Termuat Dalam
Ki Panjawi Adipati Pati ( Kabupaten Pati ) Babad Tanah Jawi
Ki Ageng Pemanahan Adipati Mataram ( Kota Yogyakarta ) Babad Tanah Jawi
Arya Pangiri Adipati Demak (Kabupaten Demak ) Babad Tanah Jawi
Panji Wiryakrama Adipati Surabaya ( Kota Surabaya ) Babad Tanah Jawi
Raden Pratanu Adipati Madura (Kabupaten Sumenep ) Babad Tanah Jawi
Arya Pamalad Adipati Tuban (Kabupaten Tuban ) Babad Tanah Jawi
Pangeran Benawa Adipati Jipang (Kabupaten Blora ) Babad Tanah Jawi

Saat Menjadi bawahan Majapahit

[sunting | sunting sumber]

Pajang menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Pajang[8][9][10]

Bhre Pajang yang pernah menjabat ialah :

1. Rajasaduhita Iswari Dyah Nirtaja 1350-1388

2. Suhita 1389-1415

3. Sureswari 1429-1450[11]

Saat menjadi bawahan Kesultanan Mataram

[sunting | sunting sumber]

Setelah terjadi Perpindahan kekuasaan ke Mataram (1587) status Pajang berubah kembali menjadi Kadipaten.

  1. Pangeran Gagak Baning (1587-1591), adik dari Panembahan Senapati
  2. Pangeran Sidawini (1591-1617)[12]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Sumber Sejarah Kerajaan Pajang; Raja-raja, Runtuhnya, dan Peninggalan-peninggalan". VOI - Waktunya Merevolusi Pemberitaan. Diakses tanggal 2021-05-29. 
  2. ^ de Graaf 2019, hlm. 350.
  3. ^ de Graaf 2019, hlm. 351.
  4. ^ Sidiq, R., Najuah, dan Lukitoyo, P. S. (2020). Rikki, A., dan Simarmata, J., ed. Sejarah Indonesia Periode Islam (PDF). Yayasan Kita Menulis. hlm. 44. ISBN 978-623-6761-12-0. 
  5. ^ Riyadi, M. I., dan Muzakki, M. H. (2019). Prihantoro, Hijrian Angga, ed. Multikulturalisme Pada Zaman Kasultanan Pajang Abad Ke-16 M: Telaah Terhadap Serat Nitisruti (PDF). Bantul: Trussmedia Grafika. hlm. 11. ISBN 978-602-5747-75-5. 
  6. ^ a b de Graaf 2019, hlm. 374.
  7. ^ a b de Graaf 2019, hlm. 375.
  8. ^ "Kitab Pararaton (terjemahan)". majapahitprana.blogspot.com. Diakses tanggal 19 Desember 2021. 
  9. ^ "Terjemahan Lengkap Naskah Manuskrip Nagarakretagama". historynote.wordpress.com. hlm. Pupuh 5 dan 6. Diakses tanggal 19 Desember 2021. 
  10. ^ "Silsilah Lengkap Pararaja Majapahit Versi Siwi Sang". siwisang.wordpress.com. Diakses tanggal 17 Juli 2022. 
  11. ^ "Tokoh Majapahit Paling Berpengaruh dalam Prasasti Waringin Pitu 1447 M". kompasiana.com. Diakses tanggal 17 Juli 2022. 
  12. ^ "Kesultanan Pajang". id.wikipedia.org. Diakses tanggal 17 Juli 2022. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Any, Andjar (1980). Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi. Semarang: Aneka Ilmu. 
  • Any, Andjar (1979). Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu. 
  • Prawirayuda, Prawirayuda; Sastradiwirya, Sastradiwirya (1989). Babad Majapahit dan Para Wali Jilid 3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. 
  • Olthof, W. L. (2007). Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. Yogyakarta: Narasi. ISBN 9789791681629. 
  • de Graff, H.J.; Pigeaud, TH. G. TH. (2019). Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, cetakan V edisi revisi. Yogyakarta: MataBangsa. ISBN 9789799471239. 
  • hayati, Chusnul (2000). Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI (PDF). Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional. 
  • Moedjianto, G. (1987). Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 9780230546868. 
  • Purwadi, Purwadi (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu. 
  • Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200. New York: Palgrave MacMillan. ISBN 9780230546868. 
  • Muljana, Slamet (1979). Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.